Parenting ala MBTI : Pahamin Kepribadian Anak untuk Metode Mendidik yang Efektif

Kadang kita mikir, kenapa anak lain kayaknya kok gampang ya diarahkan, sedangkan anak saya susah banget atau mungkin keras banget pendiriannya? Atau kenapa ada anak yang betah main sendiri berjam-jam, sedangkan saudaranya butuh terus ditemani?

parenting ala MBTI

Ada yang bilang kepribadian anak berkembang tergantung lingkungan bagaimana ia dibesarkan. Tapi kok sering banget saudara yang tumbuh di lingkungan yang sama, tapi punya watak dan kepribadian yang berbeda 180 derajat?

Jawabannya karena ada tipe bawaan alami setiap orang, termasuk anak-anak kita. Jadi tipe kepribadian MBTI itu pada dasarnya inborne, yang membentuk fungsi kognitif dan cara kerja otak kita, termasuk bagaimana anak kita menyerap energi, caranya melihat dunia dan menyerap informasi, cara alami dalam membuat keputusan, dan cara kerja efektif dirinya.

Dengan memahami MBTI, kita sebagai orang tua bisa lebih bijak: bukan sekadar “memaksa anak jadi seperti yang kita mau”, tapi membantu mereka tumbuh sesuai jati diri.


Kenapa Parenting Ala MBTI Penting?

  • Setiap anak lahir dengan preferensi alami: cara berpikir, belajar, dan bereaksi terhadap dunia.
  • Kalau pola asuh sesuai dengan kepribadian anak, hasilnya: anak lebih percaya diri, merasa dimengerti, dan tumbuh sehat secara emosional.
  • Sebaliknya, kalau kita salah paham, anak bisa merasa “salah” hanya karena dirinya berbeda.

Parenting Berdasarkan 4 Dimensi MBTI

1. Ekstrovert (E) vs Introvert (I)

  • Anak Ekstrovert (E):
    Suka ramai, belajar lewat interaksi. Butuh banyak stimulasi sosial.
    Tips: Ajak diskusi terbuka, beri ruang bermain dengan teman, biarkan mereka berbagi cerita tanpa buru-buru dipotong.
  • Anak Introvert (I):
    Butuh waktu sendiri untuk recharge. Belajar lebih baik dalam suasana tenang.
    Tips: Hormati kebutuhan mereka untuk menyendiri, jangan paksa langsung bersosialisasi. Biarkan mereka warming up pelan-pelan.

2. Sensing (S) vs Intuition (N)

  • Anak Sensing (S):
    Praktis, suka hal konkret. Belajar lebih cepat lewat contoh nyata.
    Tips: Gunakan permainan, benda nyata, atau rutinitas harian untuk mengajarkan sesuatu.
  • Anak Intuition (N):
    Imajinatif, suka ide besar, suka berkhayal.
    Tips: Biarkan mereka bereksperimen, kasih ruang untuk bertanya “kenapa” atau “bagaimana kalau”. Cerita dan analogi akan lebih masuk daripada fakta kaku.

3. Thinking (T) vs Feeling (F)

  • Anak Thinking (T):
    Logis, suka aturan yang jelas, kadang terlihat “keras kepala”.
    Tips: Jelaskan alasan di balik aturan. Mereka lebih patuh kalau tahu logikanya, bukan sekadar “karena Mama bilang begitu”.
  • Anak Feeling (F):
    Peka, emosional, mudah tersinggung, dan butuh hubungan hangat.
    Tips: Gunakan kata-kata lembut, validasi perasaan mereka (“Iya, kamu sedih ya…”), baru arahkan dengan kasih.

4. Judging (J) vs Perceiving (P)

  • Anak Judging (J):
    Suka rutinitas, rencana, dan kepastian.
    Tips: Buat jadwal harian sederhana (misal jam belajar, jam main), beri mereka struktur yang konsisten.
  • Anak Perceiving (P):
    Fleksibel, spontan, mudah bosan dengan aturan.
    Tips: Beri pilihan agar merasa punya kontrol. Gunakan pendekatan kreatif (“Mau kerjain PR dulu atau beresin mainan dulu?”).

Contoh Praktis: Parenting untuk Anak dengan Tipe Tertentu

  • ESTP (Si Petualang): Enerjik, butuh aktivitas fisik.
    Ajak olahraga, biarkan eksplorasi, tapi tetap beri batasan aman.
  • INFP (Si Pemimpi): Imajinatif, sensitif.
    Dukung hobi kreatif, beri ruang ekspresi, jangan terlalu keras saat menegur.
  • ENTJ (Si Komandan): Tegas, suka memimpin.
    Ajarkan tanggung jawab, beri kesempatan memimpin proyek kecil (misal mengatur acara keluarga).
  • ISFJ (Si Penjaga): Penyayang, setia, suka membantu.
    Libatkan dalam kegiatan rumah tangga, hargai kontribusi kecilnya.

Kesimpulan

Setiap anak unik. MBTI bukan untuk “melabeli”, tapi untuk memahami.
Dengan parenting ala MBTI, kita belajar menyesuaikan gaya asuh, bukan memaksa anak berubah.

Ibarat sebuah peta, dengan memahami kecenderungan bawaan anak, kita juga bisa mengembangkan potensinya, alih-alih memaksanya menjadi seperti orang lain.

Misalnya, sering kali sebagai orang tua melihat anak lain pandai bicara dan berinteraksi sosial, lantas memaksa anak kita yang mungkin introvert harus suka bergaul juga, dan menjadi insecure ketika melihat anak kita tidak banyak berbicara seperti anak lain. Padahal, kalau kita eksplore tanpa nge-judge, mungkin anak kita punya kekuatan di bidang lain yang malahan bisa jadi bibit kesuksesan di masa depannya kalau dikembangkan.

Jadi kita bisa fokus pada kekuatannya sembari memoles kekurangannya, daripada mengeluh atau terus membandingkan anak kita dengan anak lainnya.

Ingat: tugas orang tua bukan membentuk anak jadi versi kita, tapi membantu mereka tumbuh jadi versi terbaik dirinya sendiri.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top